Memahami Cara Kerja Equity Crowdfunding, Solusi Investasi Saat Pandemi

Masalah laten yang dialami pengusaha kecil di Indonesia untuk mengembangkan bisnisnya adalah permodalan. Sayangnya, banyak pengusaha kecil yang tidak bankable karena terkendala berbagai faktor, seperti agunan dan keterbatasan arus kas untuk menanggung cicilan dari pinjaman. Bisa dikatakan, pinjaman belum tentu cocok dengan karakteristik usaha startup.

Perkembangan teknologi finansial saat ini membuka peluang bagi startup dan usaha kecil menengah (UKM) untuk mendapatkan pendanaan melalui equity crowdfunding syariah sehingga tidak terbebani kewajiban pembayaran bunga dan pokok pinjaman.

Equity crowdfunding (ECF) atau penggalangan dana adalah proses pengumpulan dana untuk sebuah proyek atau usaha oleh sejumlah orang, yang biasanya dilakukan melalui platform online. Sistem ECF seperti membeli saham, jadi berbeda dengan sistem peer to peer lending yang hanya meminjamkan dana saja.

Equity crowdfunding terbilang baru di Indonesia. Mengutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai akhir 2019 baru ada dua perusahaan penyelenggara equity crowdfunding yang terdaftar dan/atau berizin di OJK yaitu, Santara dan Bizhare. Namun peluang pertumbuhan jenis investasi modal kecil terpercaya ini masih terbuka sangat luas.

Pada dasarnya ECF hampir sama dengan investasi di pasar modal. Ada penerbit (perusahaan yang menawarkan saham perusahaannya), penyelenggara layanan urun dana, dan pemodal (investor). Perbedaannya, penawaran saham dengan sistem ECF dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui sistem elektronik secara online, lalu yang diberikan kucuran dana atau selanjutnya disebut penerbit adalah perusahaan rintisan maupun UKM dengan jumlah modal tidak lebih dari Rp 30 miliar dan bukan merupakan perusahaan terbuka.

Penerbit juga harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan bukan perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi.Penerbit akan melakukan penawaran saham perusahaannya melalui penyelenggara layanan urun dana. Setelah itu pemodal dapat membeli saham perusahaan yang saat itu ditawarkan.

Berbeda dengan Penawaran Umum

Penawaran saham setiap penerbit melalui layanan urun dana (ECF) berbeda dengan penawaran umum yang sebagaimana tercantum di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Hal tersebut dikarenakan penawaran saham dilakukan melalui penyelenggara yang telah memperoleh izin dari OJK dan penawaran saham dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan dengan total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp10 Miliar.

Perbedaan lainnya adalah berdasarkan POJK Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding), setiap pemodal dengan penghasilan sampai dengan Rp 500 juta per tahun, maka batas maksimal investasi pemodal tersebut adalah 5% dari jumlah pendapatan per tahun. Setiap pemodal dengan penghasilan lebih dari Rp 500 juta per tahun, batas maksimal investasi pemodal tersebut adalah 10% dari jumlah pendapatan per tahun.

Jenis usaha penerbit bermacam-macam, kebanyakan adalah usaha yang ada di sekitar kita bahkan yang sering kita beli atau gunakan. Jadi harusnya lebih mudah untuk kita menganalisa pertumbuhan usaha tersebut, apakah menguntungkan atau tidak. Jika menguntungkan tentu investor berpeluang untuk mendapatkan dividen dari pertumbuhan perusahaan tersebut. Jadi kita harus pintar-pintar menganalisa dan melihat peluang yang ada supaya keuntungan yang didapat bisa jadi passive income. Yang perlu diperhatikan, crowdfunding syariah Indonesia adalah jenis investasi jangka panjang jadi jangan buru-buru ingin langsung merasakan “hasilnya”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *